ANALISIS SELAMATAN KEMATIAN
1. Asal
–usul atau dasar orang melaksanakan selamatan kematian
Masyarakat di Desa Plosorejo
memandang bahwa asal-usul atau dasar orang melaksanakan selamatan kematian(tahlilan)
berasal dari budaya Islam. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan yang
disampaikan oleh salah satu pemuka agama desa tersebut bahwa budaya selamatan
kematian ini dalam Islam sudah ada sejak zaman dahulu (semasa kehidupan sahabat
Ali) yaitu terdapat dalam aliran muslim syi’ah yang sudah lebih dahulu
melakukan upacara keagamaan tahlilan seperti saat ini. Pendapat tersebut sesuai
dengan apa yang telah disampaikan oleh para wali yang berupa amalan-amalan
seperti: membaca ayat suci Al-Qur’an, tahlil,do’a bersama-sama, yang kesemuanya
itu adalah amalan yang dilakukan oleh orang Islam yang merupakan hasil
pengembangan budaya muslim syi’ah. Sebagian masyarakat di Desa Plosorejo
berpandangan bahwa upacara selamatan kematian berasal dari budaya Islam
dan budaya lokal (Jawa/Madura), mereka mengacu pada sejarah masuknya Islam di
Jawa yang tidak terlepas dari peran para wali, yang terkenal dengan sebutan
wali songo (wali sembilan). Dalam penyebaran agama Islam ini para wali itu
memiliki beberapa metode, salah satunya yaitu dengan cara mengalkulturasikan
agama Islam dengan budaya yang ada (mewarnai segala bentuk perilaku yang ada).
Hasil alkulturasi itu salah satunya selamatan kematian yang sebelumnya
dilakukan oleh masyarakat Jawa yang pada masa itu kebanyakan beragama Hindu dan
Budha. Mantera-mantera diawali dengan bismillah dan berakhir
dengan (ucapan) la ilaha illa Allah, ucapan sesajen diganti dengan istilah Arab
sedekah atau selamatan dan sesaji yang melengkapinya disebut berkat (dari
kata barakah).
2. Tujuan
mengadakan selamatan kematian.
Mayoritas masyarakat di Desa
Plosorejo banyak mengungkapkan, bahwa tujuan mengadakan tahlilan atau selamatan
kematian yang untuk mendoakan arwah nenek moyang (keluarga). Mereka memiliki
pemahaman bahwasannya orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan
tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai alam sebelum memasuki
alam akhirat. Menurut Munir[4] arwah
orang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, dan
masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu
saat arwah itu “aneghu” atau nyambangi datang ke kediamannya tersebut. Dan
diyakini bahwa mulai dari hari pertama sampai 40 hari, sukma dari orang
meninggal tersebut masih di rumah mereka (keluarga yang ditinggal) sehingga
sanak keluarga berupaya mengirim do’a agar si mati di alam arwahnya senantiasa
mendapat rahmat dari Allah SWT.
Berkaitan dengan hubungan manusia
hidup dengan yang mati ini Syekh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat dalam kutipan
badruddin Hsubky[5]berdasarkan
hadis Nabi SAW
“Apabila anak Adam mati, maka
putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara, sodakoh jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya”
Menurut Ibnu Taimiyah, tidak
terdapat keterangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan bahwa
sesungguhnya do’a yang hidup tidak bermanfaat bagi si mati. Bahkan menurut
beliqau, sebenarnya bukan hanya do’a yang bisa sampai kepada orang mati. Semua
perbuatan manusia hidup bisa berpengaruh terhadap orang mati. Para
ulama telah sepakat mengenai manfaat do’a bagi orang yang sudah mati ini,
karena dalil-dalilnya sudah sangat jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah. Dan barang siapa yang berbeda pandangan mengenai ini, berarti ia
ahli bid’ah.
Amalan pembacaan tahlilan
(selamatan kematian) atau Al-Qur’an yang dijadikan hadiah bagi mereka yang
telah meninggal, pada hakekatnya merupakan suatu do’a atau istigfar sebagaimana
dapat diketahui dalam acara tahlilan. Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr
ayat 10.
Artinya: “Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:
Ya Tuhan kami, beri ampunilah kami dansaudara-saudara yang telah beriman lebih
dahulu dari kami, (Surat al-Hasyr ayat: 10)
3. Tempat
dan waktu pelaksanaan selamatan kematian.
Bagi masyarakat di Desa Plosorejo
pelaksanaan selamatan kematian merupakan suatu kewajiban perilaku yang sudah
biasa terjadi di saat ada orang meninggal dunia. Pelaksanaan
selamatan kematian yang berlaku di masyarakat Plosorejo dilaksanakan
setelah kegiatan memandikan sampai penguburan jenazah, yaitu pada
hari pertama meninggalnya sampai hari ketujuh, keempat \ puluh,keseratus, haul
dan sampai hari keseribu.Waktu pelaksanaan sering diadakan pada saat matahari
telah terbenam yaitu setelah Maghrib atau Isya’ kadang juga
dilaksanakan pada waktu matahari akan terbenam, yaitu sekitar
setelah shalat Ashar, yang jelas, waktu pelaksanaan selamatan
kematian (tahlilan) tersebut bukan pada saat matahari sedang
menyengat melainkan di saat udara dalam keadaan sejuk dan tidak panas.
Pemilihan waktu paling tidak didasarkan atas suatu faktor tertentu, yaitu
ketika masyarakat sudah beristirahat dari pekerjaannya serta tempat acara
tahlilan dilaksanakan di rumah, serambi depan dengan mengosongkan suatu
ruangan yang cukup luas untuk menampung para tamu.
Upacara selamatan kematian
(tahlilan) dihadiri oleh para anggota keluarga itu sendiri dengan beberapa tamu
yang biasanya adalah tetangga-tetangga terdekat, para pria, serta selamatan
tersebut dipimpin oleh seorang mudin atau Kyai kemungkinan besar sudah berada
di rumah.
4. Pelaksanaan
Prosesi Ritual Selamatan Kematian
Pelaksanaan selamatan kematian,
menurut Moh. Nur Kholis[6] diawali
oleh pihak keluarga di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak familinya
secara lisan untuk menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan di rumah
duka. Acara tahlilan baru dimulai apabila para undangan sudah banyak yang
datang dan dianggap cukup. Yang perlu untuk diketahui adalah bahwa kadang-kadang
orang yang tidak diundangpun turut menghadiri acara tahlilan, sebagai ekspresi
penyampaian rasa ikut berduka. Acara tahlilan, sebagaimana acara-acara lain,
dimulai dengan pembukaan dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada para
hadirin. Kaitannya dengan masalah makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang
pihak keluarga si mayat ada yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk
disantap bersama di rumah tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke
rumah masing- masing, yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa
Arab) barakah.
Proses berjalannya acara yang
sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau
bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam
acara selamatan kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada umumnya melakukan
pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus
ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal.
Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul
kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal.
Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan pembacaan surat Yasin, pembacaan
tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.
Umumnya bacaan yang dibaca oleh
mereka secara bersama-sama meliputi antara lain:
a. Surat Yasin: dari ayat 1
sampai ayat 38
b. Tahlil di dalamnya mengandung
bacaan:
1. Surat
al-Fatihah, sebanyak 5 kali
2. Surat
al-Ikhlas, sebanyak 3 kali
3. Surat
al-Falaq, sebanyak 3 kali
4. Surat
al-Nas, sebanyak 3 kali
5. Surat
al-Baqarah, dari ayat 1 sampai ayat 5
6. Surat
al-Baqarah ayat 163
7. Surat
al-Baqarah ayat 255 (ayat kursi)
8. Surat
al-Baqarah dari ayat 284 sampai ayat 286
9. Surat
Hud ayat 73
10. Surat al-Ahzab
ayat 33
11. Surat
Al-Ahzab ayat 56
12. Surat Ali
Imran ayat 173
13. Surat al-Anfal
ayat 40
14. Tahlil
15. Istighfar
16. Shalawat Nabi
17. Takbir
18. Tahmid
19. Do’a dan
sebagainya
20. Bacaan Do’a
terdiri atas:
a. Do’a
tahlil
b. Do’a
khusus bagi si mayat
5. Hidangan
dan Tujuannya
Suatu ciri khas masyarakat di
Desa Plosorejo dalam menghadapi keluarga yang berduka cita adalah bertakziyah
dengan membawa bawaan untuk diberikan kepada keluarga si mayat, dengan harapan
dapat membantu meringankan penderitaan mereka selama waktu berduka cita. Bentuk
bawaan menurut kebiasaan dapat berupa beras, gula, uang dan lain sebagainya.
Dalam menyambut acara selamatan kematian, para ahli si mayat disamping dibantu
oleh para tetangga, bekerja keras mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan
kepada para hadirin. Hidangan terkadang sengaja dibuat sendiridan terkadang
diperoleh dari orang lain dengan cara membelinya. Hal itutergantung pada
kesanggupan dan kesiapan pihak keluarga.
Dalam upacara selamatan kematian
pada masyarakat Plosorejo, penyajian hidangannya selalu disediakan. Penyajian
hidangan disini tidak pernah ditentukan, tetapi pada hari-ahri ke-3 danke-7
biasanya penyajian hidangan menyajikan tumpeng, jajan pasar, lauk-pauk, dan
dalam jajan pasar kadangkadang ada kue “Apem” sebagai pelengkap. Kue apem
disini mempunyai maksud dan arti tersendiri. Kata Apem dalam sejarahnya berasal
dari kata“Afwan” yang artinya maaf dari dosa. Maksud bahwa orang yang
mengadakan selamatan kematian itu adalah untuk memohon maafkan arwah keluarga
dari dosanya semasa masih hidup. Dan ketika selamatan kematian itu menempati
hari ke-40, ke-100, ke-1000 dan haul pada tiap tahunnya, maka penyajian
hidangan itu sudah berbeda lagi yaitu sesuai dengan kemampuan si punya hajat.
Masyarakat di Desa Plosorejo
sebagian besar menyatakan tujuan menyajikan hidangan pada upacara selamatan
kematian adalah untuk menjamu tamu ataumenghormati tamu undangan, karena hal
itu sudah menjadi tradisi apabila kitamengadakan selamatan kematian (tahlilan)
untuk mengucapkan rasa terimakasih itu dengan wujud memberikan hidangan pada
waktu acara sudah selesai dan untuk dibawa pulang serta juga ada yang
menyatakan bahwa tujuan penyajian hidangan adalah untuk bersodaqoh (bersedekah).
Islam tidak melarang sedekah, yang dilarang dalam Islam adalah sedekah yang
dikaitkan dengan mengharapkan pertolongan ruh si mati, Islam bahkan selalu
menuntut umatnya agar banyak melakukan sedekah. Dengan demikian, memberi
santunan atau memberi sesuatu yang membuat orang lain senang merupakan suatu
perbuatan yang sangat terpuji dalam Islam.
B. Analisis
Terhadap Unsur-unsur yang Terkandung dalam Tradisi SelamatanKematian
Selamatan kematian sebagai salah
satu hasil alkulturasi islam dan budaya jawa, pada pelaksaannya mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur Islam
Pada selamatan kematian
keberadaan unsur islam sangat terlihat
jelas, antara lain:
1. penggunaan
ayat-ayat al Qur’an
Proses berjalannya acara yang
sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau
bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam
acara selamatan kematian masyarakat di Desa Plosorejo pada umumnya melakukan
pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus
ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal.
Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul
kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal.
Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan pembacaan surat Yasin, pembacaan
tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.
2. Sedekah
Makanan dan minuman yang
dihidangkan di dalam berbagai bentuk ritus, yang merupakan inti dari
pelaksanaan suatu ritual. Selamatan bermanfaat memberikan keselamatan diri dari
bahaya atau siksaan. Selamatan menurut agama Islam tidak hanya dilakukan pada
saat kesedihan, seperti pada saat meninggalnya seseorang.
Selamatan yang dilakukan di saat
kematian menurut sebagian masyarakat merupakan suatu bentuk
kebajikan yang dianjurkan oleh Islam. Kebaikan tersebut disebut sedekah, yang
diharapkan pahala dari padanya akan sampai kepada si almarhum. Selamatan yang
biasa dilakukan oleh mereka yang melakukannya berasal dari harta si mayat itu
sendiri, para keluarga si mayat dan juga dari berbagai macam bawaan mereka yang
bertakziyah (biasanya orang-orang yang bertakziyah kepada keluarga si mayat
atas musibah yang menimpa mereka selalu disertai dengan membawa sedikit
kebutuhan pokok). Sajian dalam pelaksanaan selamatan kematian di Plosorejo
tidak saja harus berupa makanan, tetapi bisa juga berupa lainnya. Hal yang
demikian itu tergantung pada kadar kemampuan dari pihak keluarga masing-masing
yang melakukannya. Bahkan tidak menutup suatu kemungkinan selamatan hanya
berupa minuman (air), untuk sebatas menghilangkan rasa haus selama berada di
perjalanan disamping tidak begitu membebani atau menyibukkan keluarga si mayat.
3. Nilai
ukhwah islamiyah
Dalam masyarakat Plosorejo,
selamatan kematian yang memberikan kesempatan berkumpulnya sekelompok orang
berdo’a bersama, makan bersama (selamatan) secara sederhana, merupakan suatu
sikap sosial yang mempunyai makna turut berduka cita terhadap keluarga si mayat
atas musibah yang menimpanya, yaitu meninggalnya salah seorang anggota
keluarganya. Disamping itu, juga barmakna mengadakan silaturrahmi serta memupuk
ikatan persaudaraan antara mereka. Perkumpulan berduka cita yang disertai
dengan bertahlil bersama pada kehidupan masyarakat Plosorejo menurut kebiasaan
yang selama ini berjalan dilaksanakan pada sore atau malam hari. Masyarakat
Plosorejo yang kehidupan sehari- harinya senantiasa ditandai oleh kebersamaan,
kegiatan yang akan dilaksanakan selalu dipertimbangkan secara matang sehingga
tidak merasa mengganggu orang lain dalam bekerja mencari nafkah untuk
menghidupi keluarganya, meskipun pada dasarnya jika kegiatan tersebut
dilaksanakan pada pagi atau siang hari orang-orang (masyarakat Plosorejo) akan
rela meninggalkan pekerjaannya tanpa mempertimbangkan keuntungan materi.
Perkumpulan di rumah si mayat tidak lain untuk mengadakan do’a bersama untuk
dihadiahkan kepada si mayat atau setidaknya dengan suatu harapan pahala
kebaikan yang dilakukan orang banyak itu mampu menghapus siksa yang akan
menimpa si mayat, atau setidaknya bisa mengurangi siksaannya. Mereka
menghadiahkan kepada si mayat karena meyakini bahwa pahala yang ditujukan
kepada si mayat akan sampai kepadanya.
4. Nilai
Tolong-menolong.
Dalam hal tolong-menolong
pada peristiwa kematian, biasanya dilakukan oleh seseorang dengan amat rela,
tanpa perhitungan akan mendapat pertolongan kembali, karena menolong orang yang
mendapat musibah itu rupa-rupanya berdasarkan rasa bela sungkawa yang universal
dalam jiwa makhluk manusia. Dan dasar dari tolong-menolong juga rupa-rupanya
perasaan saling butuh membutuhkan, yang ada dalam jiwa warga masyarakat. Nilai
tolong-menolong dalam tradisi selamatan kematian pada masyarakat Plosorejo
terlihat dalam pelaksanaan atau penyelenggaraannya. Misalnya dalam hidangan,
selama tujuh hari berturut-turut para ibu- ibu (para tetangga dan kerabat dekat
di almarhum) membantu dalam persiapan hidangan (makan, minuman) undangan,
karena dalam selamatan kematian tidak sedikit yang hadir kadang-kadang 100-150
orang (sesuai dengan relasi seseorang dalam bermasyarakat). Bahkan pada saat
pelaksanaan kematian selesai, mereka bersama-sama membersihkan tempat-tempat
yang telah digunakan. Dalam tolong menolong terdapat hubungan saling
ketergantungan sebagai akibat dari adanya proses pertukaran yang saling
memberikan balasan atas jasa yang diberikan orang lain kepada dirinya.[7]“Long-nolongeh”
(tolong menolong) dalam masyarakat Plosorejo khususnya dalam
selamatan kematian terjadi secara spontan dan rela, tetapi juga ada
yang didasarkan oleh perasaan saling membutuhkan yang ada dalam jiwa masyarakat
tersebut. Kegiatan tolong-menolong ini diartikan sebagai suatu kegiatan kerja
yang melibatkan tenaga kerja dengan tujuan membantu si punya hajat dan mereka
tidak menerima imbalan berupa upah (tolong menolong pada situasi kematian
musibah cenderung rela).
b. Unsur
Budaya lokal
Unsur budaya jawa pada selamatan
kematian terlihat jelas pelaksanaannya yang di tentukan oleh penanggalan jawa.
Selamatan
yang biasa dilakukan oleh orang Jawa adalah :
* 1-7 hari (telung dina, pitong
dina)
* 40 hari (matangpuluh dina)
* 100 hari (nyatus dina)
* Mendhak 1
* Mendhak 2
* 1000 hari (nyewu)
Orang Jawa mempunyai rumus
tersendiri dalam menghitung selamatan. Salah satunya dengan memanfaatkan Hari
dan pasaran. Hari adalah Senin,Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at , Sabtu dan Minggu.
Sedangkan pasaran adalah Pon, wage, Kliwon, Manis (Legi) dan Pahing. Mereka
mengkombinasikan hari dan pasaran tersebut sehingga menemukan kapan hari
selamatan tersebut. Mereka mempunyai rumus tersendiri dalam menghitung
selamatan tersebut.
Orang Jawa begitu familiar dengan
penghitungan selamatan seperti itu. Karena mereka sudah mempunyai rumus dalam
menghitung selamatan orang meninggal, maka merekapun akan dengan mudah
menentukan hari apa harus melakukan selamatan tersebut. Misal jika orang
meninggal pada hari Jum’at Kliwon, maka selamatannya adalah :
* 3 hari = Minggu Pahing
* 7 hari = Kamis Legi
* 40 hari = Selasa Wage
* 100 hari = Sabtu Wage
* Mendhak 1 = Senin Pon
* Mendhak 2 = Sabtu Pon
* 1000 hari = Rabu wage
Tidak ada komentar:
Posting Komentar