Selasa, 16 Desember 2014

Tradisi Ruwatan

TRADISI RUWATAN

1.       DESKRIPSI RUWATAN

Kata “ruwat” mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa.
Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan seseorang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan cara melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon) bahwa sebagian orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam hidupnya di dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk.
Asal mula adanya tradisi ruwatan yaitu, dalam cerita pewayangan ada seorang tokoh yang bernama "Bethoro Guru" atau "Sang Hyang Guru", dia beristrikan dua orang istri. Dari istri pademi dia menurunkan seorang anak laki-laki bernama Wishnu. setelah dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi pekerti baik, sementara dari istri selir dia juga menurunkan seorang anak laki-laki bernama Bethoro Kolo. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang jahat, konon kesurupan setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk dimakan. Maka sang ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan tetapi pilihlah jalma seperti dibawah ini” :
1.    Untang-Anting
yakni anak tunggal laki-Iaki.
2.    Unting-Unting          
yakni anak tunggal perempuan.
3.    Kedono-Kedini          
yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.
4.    Kembang Sepasang    
yakni dua anak perempuan.
5.    Uger-Uger Lawang
yakni dua anak laki-laki.
6.    Pancuran Keapit Sendang
yakni tiga anak, perempuan, laki-laki dan perempuan.
7.    Sendang Keapit Pancuran
yakni tiga anak, laki-laki, prempuan dan laki-laki.
8.    Cukit-Dulit
yakni tiga anak laki-Iaki.
9.    Sarombo
yakni empat anak laki-Iaki.
10.    Pandowo
yakni lima anak laki-laki.
11.    Gotong Mayit         
yakni tiga anak perempuan.

12.    Sarimpi
yakni empat anak perempuan.
13.    Ponca Gati            
yakni lima anak perempuan.
14.    Kiblat Papat  
yakni empat anak laki-laki dan perempuan.
15.    Pipilan
yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.
16.    Padangan  
yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.
17.    Sepasar
yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.
18.    Pendowo Ngedangno
yakni tiga anak laki-laki dan satu perempuan.

Dalam mitos orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih diyakini kebenarannya, sehingga menurut Shohibur riwayah agar Bethoro Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas, dicarikan solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN" untuk anak yang bersangkutan.
Dalam tradisi Jawa, ruwatan yang diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar jalma/anak yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, adalah suatu upacara yang acaranya sebagai berikut:
a.    Mengadakan pagelaran wayang;
b.    Sebagai pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG SEJATI";
c.    Lakon yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO";
d.    Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo;
e.    Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan mantra-mantra dengan iringan gamelan, langgam dan gending tertentu. Konon mantra-mantra tersebut untuk tolak balak (mengusir Bethoro Kolo yang jahat itu).
Acara ruwatan yang lebih bernuansa islamipun ada. Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsur-unsur yang menyimpang dari syari’ah, dan ada juga unsur-unsur yang merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.
Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru, yaitu :
-          Amalan yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan kepada perilaku yang bertendensi kepada syari’ah
-          Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid
-          Amalan yang asalnya berbau bid’ah, diarahkan kepada Sunnah.
Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syari’ah dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain :
a.    Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;
b.    Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;
c.    Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia dan akhirat;
d.    Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta upacara ruwatan.

Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kaum muslim, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya? Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:
a.    Membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan dalam agama kita.
b.    Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.
c.    Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara bahaya.

2.      TANGGAPAN MASYARAKAT
Tanggapan masyarakat khususnya di Purbalingga dengan tradisi ruwatan tersebut yaitu, mereka tetap mempercayai dan melaksanakan tradisi tersebut. Karena berdasarkan kepercayaan mereka tradisi ruwatan itu merupakan naluri adat. Mereka mempercayai bahwa ruwatan itu dilaksanakan atas dasar pesan dari para sesepuh/ leluhur atau nenek moyang yang harus dilaksanakan.
Apabila anak yang seharusnya di ruwat tapi tidak melaksanakan tradisi ruwatan, maka nasib buruk akan menimpa anak yang tidak di ruwat tersebut. Nasib buruk itu berupa si anak mentalnya menjadi terganggu. Dari waktu ke waktu semakin dewasa si anak maka dia akan lupa ingatan dan jiwanya menjadi terguncang (seperti orang gila). Masa depannya menjadi tidak menentu.
Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya apabila tradisi ruwatan tetap dilaksanakan apabila sebuah keluarga memiliki anak yang sesuai dengan 18 ciri anak di atas tadi. Karena itu termasuk kebudayaan jawa, yang harus dipertahankan dan tidak boleh hilang sebagai salah satu ciri Jawa yang memiliki banyak budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar